Sabtu, 23 Juli 2011

Lirik Lagu Om Mani Padme Hum


Di kala hari menjelang senja
Mentari mulai tenggelam
Rembulan pun mulai bersinar terang
Sesayupkan terdengar suara

Mengalunkan desiran nada nada
Berdendang nan suka cita
Bagi batin nan suci kan menjadi
Damai tenangkan hati manusia

Tenangkan perbuatan 
Tenangkan ucapan pikiran
Tenang... Pancarkan... 
Kasih sayang mu pada s'mua

Makhluk hidup kembangkanlah
Karuna... Mudita...
Sampai tercapai pantai bahagia 
Om Mani Padme Hum

Mengalunkan desiran nada nada
Berdendang nan suka cita

Bagi batin nan suci kan menjadi
Damai tenangkan hati manusia

Tenangkan perbuatan 
Tenangkan ucapan pikiran
Tenang... Pancarkan... 
Kasih sayang mu pada s'mua

Makhluk hidup kembangkanlah
Karuna... Mudita...

Sampai tercapai pantai bahagia 
Om Mani Padme Hum

Makhluk hidup kembangkanlah
Karuna... Mudita...

Sampai tercapai pantai bahagia 
Om Mani Padme Hum




Kamis, 21 Juli 2011

Kenangan terakhir bersama mama


Mama mulai lemah

Sekitar tahun 2017 yang lalu, saya merasakan perubahan kondisi fisik mama yang semakin hari semakin kurang. Mama memang tidak dapat berjalan dengan baik selama beberapa tahun, mengandalkan kursi roda dan gerakan yang lambat karena lututnya sudah pernah dioperasi. Mama yang dulunya bisa pelan-pelan merangkak ke lantai dua untuk sembahyang, tetapi sekarang dia merasa badannya semakin berat dan sudah mulai merasakan tidak nyaman untuk merangkak naik ke lantai dua untuk beraktivitas seperti biasa. Mama saya memang memiliki berat badan yang agak sedikit gemuk.
Mama saya di dapur kami

Akhirnya saya menyarankan agar mama untuk tidak naik ke lantai dua. Mama sudah semakin terbatas, dan sangat memerlukan bantuan untuk buang air kecil dan buang air besar. Mama saya tidak dapat mandi sendiri lagi, kakak perempuan saya sering membantu mama dan kadang-kadang termasuk saya juga memandikan mama.
Saya dan mama di kamar saya


Satu hari, sepulang dari kota Padang Sidimpuan, saya dimarahi mama hanya karena berpergian dan tidak memperhatikannya. Tak lama setelah itu, mama merasa agak lemas, dan mama berbaring. Dan sewaktu jam makan malam, mama tidak lagi merespon seperti biasanya. Tangannya lemah dan tidak memberikan reaksi. 
Di sini badan mama sudah agak mulai lemah

Saya mulai curiga dan khawatir mama akan stroke kedua kalinya, karena sebelumnya mama memang memiliki riwayat stroke. Saya memanggil kakak untuk berencana membawa mama ke dokter. Di antara kebinggungan tersebut, saya segera ambil jarum, saya sangat khawatir kalau mama bisa terkena stroke yang kedua kali. Lalu, segera saya tusukkan jarum ke jarinya dan darah mengalir sangat encer, tidak kental seperti yang diceritakan orang-orang. 

Saya semakin curiga, mama tidak terkena stroke, bahkan sewaktu ditusuk jarum, mama tidak memberikan respon sama sekali, hanya gerakan mata yang kesakitan, tetapi setelah itu langsung berbaring dan tertidur seperti sangat lelah.

Kami segera melakukan test kadar gula pada mama, karena mama memang memiliki riwayat penyakit gula. Kadar gulanya sangat tinggi 456. Kami terkejut dan ini segera mesti dibawa lari ke rumah sakit.

Saya segera ambil keputusan, ini tidak bisa ditunggu lagi, meskipun kakak saya berharap untuk dirawat di rumah saya. Kami akan memanggil ambulans untuk membawa mama ke rumah sakit, sekitar jam 9 pagi, kami menghubungi pihak rumah sakit di Sibolga untuk diberikan perawatan mendadak.

Tapi, karena kebinggungan, dan menurut saya mama belum dapat didiagnosa dengan baik  meskipun sudah berada di rumah sakit. Saya masih belum bisa berbuat apa-apa, tapi saya masih penasaran, bahwa mama saya harus segera dirawat. Saya bertekad saat itu untuk merawat mama saya.

Mama masuk ke rumah sakit

Mama waktu itu diberi sejenis oralit untuk mengembalikan semangat dan sempat dirujuk untuk melakkan rontgen pada paru-paru, mama saya setelah mendapatkan suntikan demikian, sempat memberikan respon dan berbicara kepada keluarga, tetapi tidak lama setelah makan siang, dia mulai lemas dan tertidur. Dugaan saya, kadar gula mama sedang naik tinggi, maka dia tertidur. Tetapi pihak rumah sakit tidak dapat memberikan respon yang cepat, meskipun kami sudah di IGD.
Pertama kali mama masuk ke rumah sakit

Saya berpikir bahwa rumah sakit ini tidak dapat memberikan jawaban, kakak saya bersikeras untuk menunggu diagnosa dokter. Malamnya sekitar jam 8, saya berpikir untuk membawa mama ke satu dokter lain yang disarankan kepada saya. Saya sebenarnya masih di antara ragu, binggung dan sedikit panik. Tapi saya usahakan terbaik, saya pikir ini sudah tidak keburu membawa mama ke luar negeri untuk berobat. 

Saya segera mencari alamat klinik yang disarankan kepada saya. Saya pergi sendirian malam itu dengan hati yang was-was. Sesampai di tujuan, saya cukup terkejut karena meskipun sebutannya klinik tetapi bentuknya cukup bersih dan nyaman untuk sekelas rumah sakit. Akhirnya setelah mendapatkan informasi dari satpam saya bertekad menghubungi dokter di klinik dan mengeluarkan mama dari rumah sakit untuk dipindahkan ke klinik.

Ini harus segera. Saya hanya punya satu pikiran, pindahkan segera, sebelum terlambat untuk ditangani.

Tapi sayangnya dokter klinik tidak dapat dihubungi langsung karena harus mengikuti prosedur. Besok paginya, dokter di rumah sakit mendiagnosa mama saya, tetapi saya merasa sangat tidak cocok karena mama mesti diperiksa dulu selama tiga hari untuk mendeteksi apa penyakit mama sesungguhnya, padahal sudah sangat jelas, kadar gulanya tinggi, tetapi masih dibutuhkan untuk pemeriksaan paru-paru, dan dianggap mama kena kanker paru-paru. Waktu itu memang saya memasukkan mama ke rumah sakit tidak melalui jalur umum, melalui jalur BPJS. Tetapi tidak untuk klinik. Saya waktu itu hanya berpikir bahwa tidak apa-apa uang keluar lebih, daripada terlambat ditangani.

Saya sangat kecewa dan sedih, karena selain diagnosa-nya yang saya anggap bermain-main dan tidak serius, lalu perawatnya juga tidak serius menangani pasien, waktu mama sudah buang air besar di tempat tidur, tidak ada perawat yang langsung menanggapinya. Saya sungguh sangat kecewa, akhirnya, saya putuskan untuk keluar dari sana. Waktu itu, saya sempat marah-marah kepada pihak rumah sakit karena penanganan yang lamban.

Tetapi tidak mudah, karena kendala surat-surat dan saya tidak paham, saya waktu itu beranggapan rumah sakit sudah seperti kantor saja, harus menunggu surat, sementara mama saya dalam keadaan gawat. Mama waktu itu sama sekali tidak merespon keluarga. Kami bersaudara di antara ketakutan, panik dan kebinggungan. Lalu, saya setelah didiagnosa dokter, saya minta agar diberikan insulin kepada mama. 

Tapi itu pun sangat lamban dan mama tidak diperhatikan. Saya merasa ini agak tidak nyaman. Jam 9 lewat, saya putuskan untuk keluar, tetapi sampai jam 11, tidak ada respon dari pihak rumah sakit. Saya mendesak pihak rumah sakit dan berjanji untuk bertanggung jawab atas biaya-biaya yang diperlukan, tetapi mama ditangani terlebih dahulu.

Saya agak emosi dan menghubungi layanan pelanggan rumah sakit melalui SMS, saya mengajukan keberatan dan kekesalan yang luar biasa. Setelah begitu, mereka baru memberikan respon dan segera memanggil satpam untuk memindahkan mama ke mobil ambulans dan membawa pergi ke klinik.

Kami membawa mama ke klinik

Saya masih keadaan was-was karena jam sudah menunjukkan pukul 12 siang, saya masih belum tenang karena saya khawatir dokter dalam keadaan istirahat dan tidak dapat menangani mama langsung. Sesampai di klinik, jam sudah pukul 12.30, harapan saya sudah selesai, kami harus menunggu sampai dokter selesai istirahat. Tapi saya tidak mau menyerah, saya bilang ke resepsionis, saya mohon bantuan dokter untuk tidak istirahat dan segera mendiagnosa mama.
Sewaktu di rawat pertama kali di instalasi gawat darurat klinik

Ternyata, setelah ditelepon oleh resepsionis, dokter bersedia untuk melakukan tindakan langsung, dan hasilnya dokter mengatakan ini harus segera dirawat di unit gawat darurat. Saya langsung menyetujuinya. Dokter mengatakan bahwa mama kemungkinan bisa tidak selamat, tetapi saya berdoa dalam hati, agar mama bisa bertahan. 

Jam 2 siang, mama dipindahkan dari ruang poliklinik ke ruang unit gawat darurat. Meski saya agak tenang sedikit, tapi hati tetap berdoa, keluarga mulai berdatangan untuk menjenguk keadaan mama.

Dokter memberikan terapi insulin yang agak kuat, dan mama dipaksakan untuk tidur dan tidak diganggu terlebih dahulu. Jam 5 sore dan jam 6 sore, mama mulai bisa menggerakan tangannya. Air mata saya pelan-pelan keluar, saya terharu sekali, mama seperti diberi kehidupan kedua. Saya mencium wajah mama saya, saya bilang, Ma, sudah agak enakan belom? Mama memberi respon, bahwa dia mengatakan seperti terbangun dari mati suri dan kembali hidup.

Dokter memeriksanya sekali lagi, dokter mengatakan agar jangan bahagia dulu, kita masih di unit gawat darurat dan tunggu 2 hari lagi baru bisa pindah ke ruangan biasa. Tapi saya yakin akan tidak terjadi apa-apa. Di antara pesimisnya anggota keluarga yang lain, saya tidak punya ide selain untuk tetap memantau mama. 
Kondisi mama membaik setelah terapi insulin

Mama diberikan perawatan insulin. Mengapa saya percaya dengan dokter di klinik, karena saya menyaksikan bahwa diagnosanya lebih masuk akal, dan langsung ditangani tanpa menunggu. Saya merasakan ada perubahan pada mama pada hari yang sama.

Sehari berlalu, mama semakin baik, tetapi meskipun demikian, tekanan darah, detak jantung, kadar gula, kadar air di tubuhnya mesti dijaga. Obat-obatan tidak satu agar tetap menjaga kondisi mama di keadaan stabil dan normal. Kami anak-anaknya bergantian menjaga di rumah sakit, tidur di lantai, agar mama merasa bahwa dia sedang dijaga. 

Di sini, saya menyadari bahwa, tubuh kita suatu saat, tidak akan kuat lagi, tubuh kita akan melemah sama seperti mama. Dan kita tidak bisa berbuat banyak, meskipun kita di waktu muda punya keinginan yang kuat, punya kehebatan yang banyak, tapi suatu saat badan fisik kita akan menjadi lemah dan tidak berdaya.

Mama pulang rumah dan dirawat keluarga

Kami tetap berusaha menyenangkan hati mama, membawanya agar sembuh lebih cepat. Hari ketiga, di klinik, mama dipindahkan ke ruangan biasa. Setelah kira-kira 8 hari di klinik dirawat, mama mulai merasa jenuh, dan minta agar dipulangkan. Setelah mendapatkan persetujuan dokter, dan saran yang sangat banyak. Kami membawa pulang mama ke rumah.

Hati ini di antara senang dan sedih, karena saya tahu pasti, mama tidak akan sembuh, saya tahu juga bahwa merawat mama akan menjadi sesuatu yang sulit bagi saya, tetapi ini harus dijalani. Saya tahu cara pandang saya akan berubah, tetapi saya mesti melakukannya. 
Mama sedang bahagia di kamar karena keluarga sedang berkumpul

Saya mencari obat-obatan, menyenangkan hati mama, menyuapinya makan, mengatur kadar karbohidrat, air dan obat-obatannya. Praktis, saya seperti perawat di rumah, meskipun saya tidak sendirian. Kami memandikan mama, menyuapinya, menggosokkan minyak ke badannya. Saya mengganti tempat tidurnya agar lebih mudah mengganti popoknya.

Hari-hari saya banyak berubah, saya yang dulunya bercita-cita ini dan itu, kini tidak bisa lagi. Saya tak bisa jauh lagi dari mama. Mama memerlukan bantuan meskipun dia tidak pernah memintanya langsung kepada saya. Saya sayang sekali sama mama, tapi tidak tahu mau berbuat apa.
Acara pagi mendapatkan sinar mentari agar lebih sehat

Setiap pagi, saya membangunkannya, menyiapkan makanannya, memanaskan kompor, mencuci piring, mengatur obat-obatnya, mengosok gigi palsunya, me-lap badannya, mengganti popok, menyapu lantai kamarnya, membuang pispot pipisnya dan menceritakan hal-hal yang bahagia ke mama agar tetap bersemangat.

Di waktu siang, saya membeli obat, memesannya dari luar kota, menunggunya, dan mengerjakan hal lain. Saya masih sempat mengajar, meskipun hati dan pikiran sudah tidak di mengajar lagi. Karena saya sendiri anak laki-laki, akhirnya kami sepakat untuk mengundang asisten rumah tangga untuk membersihkan ruangan dan membantu serta menemani mama. 

Tapi tetap ada saya untuk mengerjakan hal-hal lainnya. Di sore hari, mama tetap butuh bantuan untuk makan dan pengaturan obat-obatannya. Kami melakukan test kadar gula sendiri ke mama untuk menjaga kadar gulanya.

Setiap hari demikian, kami bergantian untuk merawat, kadang-kadang dipenuhi dengan lelah pikiran dan hati, tapi mama mesti dijaga dan dirawat. Saya mengatakan kepada mama, agar menggunakan uangnya yang ada untuk keperluannya, agar tidak lagi berhemat, agar tidak lagi menyimpan uang untuk pengobatannya. 
Untuk kedua kalinya mama sembuh dari klinik dan diizinkan dirawat di rumah

Saya memaksa mama untuk mengeluarkan uangnya agar apa saja dipenuhi untuk kesembuhan mama. Tapi mama hanya merespon dengan mata yang sayu, seakan-akan mau mengatakan ide saya tidak perlu segitunya.

Saya memang tidak banyak berbuat, kami tetap membawa mama kontrol dokter selama dua minggu sekali, kondisi mama naik dan turun, tidak dapat diprediksi, karena asupan makanan dan ‘gula’ sangat mengerogoti tubuhnya. Dia yakin bahwa jantungnya sudah bengkak, sementara itu, saya yakin ginjalnya sudah dalam keadaan buruk, karena pernah mengalami operasi batu ginjal. Tapi di samping itu, saya tetap optimis bahwa mama akan membaik.

Tapi sampai kapan? Hari berlalu, saya tidak bisa memastikan, hanya saya menikmati hari-hari dan menjalaninya untuk mama saya. Suatu waktu, mama mengatakan pada saya, menikahlah, biar besok ada yang menjagamu kelak. Saya sangat sedih dan terharu mendengarnya, saya membalasnya, ma… iya, pasti, suatu saat saya akan menikah.

Kamarnya tidak lagi menyenangkan, karena faktor udara yang tidak baik di dalam kamar, suasana bising dan agak jauh untuk diperhatikan. Awal-awal pulang dari rumah sakit, saya memberikan mama bel rumah, jika ada perlu silakan dipencet untuk memanggil saya dari lantai dua untuk turun ke kamarnya. Rumah kami cukup besar, jadi perlu waktu untuk turun. Mama sering mengeluh karena kami lamban menanganinya. 
Saya dan mama

Saya paham hal ini, karena mama sendirian di kamar, dia tidak mau sendirian, kadang-kadang waktu dia terbangun dari tidur siang, dia mencari orang tapi tak menemukannya.

Terima kasih, Ma

Mama masih bolak-balik ke klinik dan akhirnya kondisinya turun lagi untuk kedua kalinya, kami segera membawa mama ke rumah sakit sekali lagi. Perawatan sekitar satu minggu lagi di sana, mama membaik lagi, dokter mengatakan agar tetap menjaga dan tidak boleh lengah. Dokter juga memberikan arahan dan nasihat kepada kami agar lebih serius, karena menangani seorang yang lansia lebih sukar dibandingkan 10 bayi baru lahir.

Saya saat itu mulai sedikit khawatir kalau mama bisa berulang-ulang masuk ke klinik seperti sebelumnya. Mama waktu itu sempat mengeluarkan kotoran berwarna hitam dan keras serta tidak ada airnya. Saya semakin kebinggungan karena meskipun kami sudah merawat dengan lebih teliti dan pengawasan yang lebih ketat, kondisi mama semakin menurun.

Sewaktu di mobil ambulans untuk kedua kalinya, kami bertiga, dan kakak menangis diam-diam. Saya mengatakan padanya, saya juga merasa hati yang hampa. Tapi apa boleh buat, kita tidak bisa melawan kodrat, kita hanya akan bisa berusaha sekuat tenaga. Saya tahu, saya akan menghadapinya, saya tahu bahwa mama suatu saat akan berangkat dan tak kembali. Saya harus menguatkan hati dan tidak boleh menyerah, meskipun sangat sedih, dan berurai mata, saya tidak boleh menyerah. Mama harus dirawat, apa pun yang akan terjadi.

Saya mengatakan kepada kakak, bersiaplah kita menghadapi hidup tanpa orang tua, bersiaplah kita akan kehilangan mama sama seperti kita kehilangan papa dulu. Tapi meskipun saya tegar di luar, di dalam lubuk hati, saya masih tidak terima keadaan mama sangat lemah. Karena saya masih merasa belum pernah menyenangkan hati mama, meskipun saya setiap hari menanyakan kabarnya dan berusaha menyenangkan hatinya.

Saat itu, kerabat keluarga dan teman, sama-sama menjenguk dan mendoakan untuk kesembuhan mama. Saya sangat berterima kasih, di saat yang seperti ini, masih ada kerabat keluarga dan teman yang tetap mendoakan mama.

Hari berlalu, minggu berlalu, bulan berlalu, mama masih tidak memiliki perubahan yang signifikan. Saya ingat sering tiap pagi membawanya keluar untuk menikmati sinar mentari pagi, mengajaknya menggosok gigi, memandikannya dan menghiburnya. Saya membelikan mie goreng kesukaannya. Tetapi kondisi mama masih tetap tidak membaik. Saya mendorong kursi rodanya, membawanya berkeliling, bercerita humor, mengajaknya menonton dan lain sebagainya. Tapi kondisinya tetap kembali lebih banyak tidur dan hanya meneruskan keadaan biologisnya saja.

Akhirnya, karena jarak kami berdua cukup jauh, saya memutuskan agar membawanya ke dalam kamar saya dan tidur bersama saya. Saya pindahkan mama ke tempat tidur saya agar lebih nyaman, dan saya pindah tidur di lantai atau di sampingnya, agar bisa menjaganya lebih lama. Saya akui, tidur saya sudah terganggu, tidak lagi normal, malam dan siang sudah tidak menentu. Saya hanya bisa istirahat apabila mama bisa tertidur, tetapi wajib terbangun karena mama mesti dilihat, apakah selimutnya terlalu panas, atau terbuka terlalu dingin, kaus kakinya terlepas atau tidak, apakah pipisnya sudah banyak atau belum.

Hidup saya banyak berubah, saya tidak lagi menikmati kamar sendirian. Saya bersama mama, dan saya tidak bisa menghindarinya lagi. Kadang-kadang di antara kelelahan, saya menyabarkan diri dan hati sendiri agar tetap tabah, dan tidak mudah emosi dalam merawat mama. Saya tetap berpatokan pada peduli orang tua adalah hal terbaik. Meskipun saya dalam keadaan capek dan lelah, saya menutupinya, dan menangis diam-diam di luar kamar. Saya tidak mau mama tahu bahwa saya sedang capek.

Sampai satu malam, pukul dua malam, mama yang sudah semakin lemah, hanya bisa berteriak pelan dan asal-asalan menyebut nama orang. Saya terbangun, dan tahu pasti ada sesuatu. Saya bangun dan menyalakan lampu kamar. Rupanya popok mama saya basah banyak sampai ke punggungnya. Saya terkejut, di antara ngantuk dan capek. Saya bilang, Ma, tunggulah sebentar saya bersihkan.

Saya mengambil handuk dan ember. Saya menggulingkan badan mama saya pelan-pelan ke samping, membuka popoknya dan membuangnya ke luar kamar. Saya melap air pipis dan terjatuh ke lantai, saya hanya bisa mengerjakannya dengan diam. Selesai membereskannya, saya memberikan bedak, minyak kayu putih dan popok kering. Dan terakhir saya memasangkan celana tidurnya agar tidak kedinginan di ruangan ber-AC. Saya tarikkan selimut sarungnya. Mama di antara suara pelan, sadar dan matanya yang tua. Dia mengatakan sama saya, Ken, terima kasih ya, sudah membersihkan saya, semoga rezeki mu kelak banyak di masa akan datang.

Meskipun tangan masih mengangkat kain-kain, saya sangat terharu mendengarnya. Air mata saya keluar sedikit-sedikit, sambil saya keluar kamar, saya menangis di kamar mandi. Saya tahu waktu itu, mama saya tidak akan lama lagi, mengapa malah mama yang mendoakan saya. Tapi saya tidak boleh sedih. Saya kembali ke kamar dan memeluk menciumnya, saya bilang, Ma, sudahlah, tidak boleh Mama bilang begitu, kami dulu kecil-kecil mama urus sampai besar, masa Cuma mengurusi begini, mama harus bilang terima kasih. Mama tidur ya, saya tidak apa-apa, nanti kalau mama perlu apa bilang dan bangunkan saya lagi.

Saya berbalik ke lantai untuk berbaring, jantung saya berdetak sangat kencang, saya terisak-isak seperti anak-anak.

Malam terakhir di klinik

Januari 2018…

Februari 2018…

Waktu berlalu begitu cepat. 

Saya masih ingat, membawanya di dalam mobil, menunjukkannya rumah-rumah, mendengarkannya lagu, memegang tangannya, menenangkan hatinya, sekarang hanya tinggal kenangan.

 

Famili datang menjenguk keadaan Mama

Kondisi mama tidak banyak berubah, yang ada mama semakin hari semakin tidak kuat. Satu ketika sewaktu saya memindahkan mama untuk buang air, meskipun dengan sangat pelan saya menggendongnya, tiba-tiba mama melorot dari tangan saya dan suara tulangnya berbunyi keras, dia meringis kesakitan. Saya sangat merasa bersalah, saya langsung panik dan berteriak minta tolong. Saya segera membaringkan mama dan tidak berani menggendongnya lagi, segera saya ambil minyak gosok agar dia merasa lebih nyaman. Karena kesakitan, air matanya keluar, saya tahu itu sangat sakit, karena tulang-tulangnya sudah keropos, yang saya khawatirkan bisa terjadi patah salah satu. Saya memanggil kakak dan saya menyabarkan mama supaya bisa menahan sakitnya.

Saya segera berdoa dan memohon agar mama tidak terjadi patah tulang. Tapi syukurlah tak lama, mama memang tidak mengalami patah tulang, tetapi sendinya berdetak itu cukup membuat khawatir. Sehari berlalu, badannya sudah kembali pulih.

Mama sudah mulai pikun, mulai tidak lagi mengingat orang, mulai berbicara yang tidak sesuai dengan pembicaraan. Dia mulai mengatakan awas ada tangki air mau jatuh, dia melihat air yang banyak di dalam kamar. Mama juga menyaksikan ada anak kecil berdiri di depan pintu kamar, yang jelas tidak ada orang. Dia mulai mendengar suara papa, dia mulai mendengar dan melihat sesuatu yang tidak saya lihat. Dia melihat dan merasakan sesuatu yang nyata tapi tidak nyata sama kami.

Dia mengatakan bahwa saya berbohong karena pura-pura tidak melihat apa yang dilihatnya, dan saya tetap mengatakan apa yang dilihatnya adalah tidak ada. Saya sering menyahut kalimat-kalimatnya yang pikun. Badannya kembali membengkak, kadar airnya drastis naik, dalam waktu dua hari saja, bentuk tubuhnya mulai gemuk karena kadar air, pipisnya mulai sedikit dan kuning, tidak dapat keluar seperti biasa.

Setelah pertimbangan banyak, dalam keadaan sadar, kami membawa mama kembali untuk kesekian kalinya ke klinik. Tapi kali ini, meskipun mama masih sadar dengan baik, kondisi obat rupanya tidak dapat masuk ke dalam badannya. Saya bersikeras untuk memindahkannya ke kamar sendiri, karena saya tahu mama pasti mau sendiri, tidak mau bersama orang lain di satu kamar.

Setelah masuk ke kamar yang sendiri, tapi diperlakukan seperti kamar instalasi gawat darurat. Dokter mengatakan bahwa obat sudah susah masuk ke dalam badan. Entah bagaimana, fungsi obat tak banyak lagi bekerja.

Saya menghubungi keluarga dengan kemungkinan bahwa mama sudah tidak dapat diobati lagi. Saya menunda kedatangan teman saya dari Jakarta untuk mampir menjenguk saya. Saya menghentikan semua kegiatan dulu. Saya berbicara banyak dengan keluarga dan bersiap-siap jika mama sudah tidak kuat lagi.

Siang itu, obat yang disuntikkan tidak bisa lagi berfungsi. Tekanan darah mama pelan-pelan menurun, dan tidak bisa dinaikkan dengan obat suntik sekalipun. Detak jantungnya mulai melemah.

Pukul 2 siang, keluarga saya kabari agar segera pulang dan menjenguk mama di klinik. Kami berkumpul, tapi mama sudah tidak bisa berbicara seperti biasa, dia hanya bisa tertidur di tempat tidur. Dokter mengatakan, mari kita berdoa.

Jantung saya berdetak menandakan firasat buruk atau tidak enak. Saya di antara gelisah dan tak nyaman, tetap harus tegar, harus paham bahwa hidup ini hanya sementara. Saya tidak boleh menyerah.

Pukul 6 sore, sudah banyak keluarga dan kerabat mondar-mandir untuk menyaksikan keadaan mama yang terbaring lemah dan tidak dapat berbicara. Saya juga hanya bisa menyaksikan dada dan perutnya naik-turun menghadapi nafasnya. Mama sudah tidak bisa makan lagi, dari siang belum ada asupan makanan. Detak dan tekanan darahnya semakin turun. Dokter mengusulkan memasukkan makanan lewat selang, dengan hati yang sakit, saya menyetujuinya, saya tahu ini bukan keputusan yang baik, di antara kebinggungan, saya tetapi menandatanganinya. Saya tak tahu mau berbuat apa lagi.

Saya menyaksikan bubur dimasukkan ke lambung mama dengan selang, dia agak tersedak dan tidak bisa member respon. Tak lama setelah itu, kotorannya terus keluar, saya dan perawat me-lapnya, agar sampai bersih, tapi mama tetap tidak memberikan respon. Saya mulai lemah batin.

Saya tidak dapat menghindari lagi.

Malam ini saya tidak mau jauh.

Jam sudah mendekati pukul 12 malam, kami semua berjaga, tetapi tekanan darah mama sudah semakin lemah.

Pukul 1 malam lewat, kondisi mama sudah tidak sadarkan diri, kakak dan keluarga sudah sangat sedih. Saya juga hanya bisa terdiam. Pukul 2, mama dipompa listrik kejut agar jantungnya tetap berdetak.

Saya hanya bisa berharap dan berharap… tapi… saya juga tahu bahwa ini harus dilalui. Mama tak kuat lagi. Kami harus berpisah. Mama bernafas lebih pelan. Saya mengatakan kepada perawat dan dokter, untuk menyudahinya. Saya tidak kuat lagi. Saya menyaksikan pelan-pelan nafas mama berkurang dan melambat dan sampai akhirnya… mama menghembuskan nafas terakhirnya di kehidupan ini.

Mama saya akhirnya meninggal dunia secara medis. Air mata saya berjatuhan, saya memegang dada dan keluar dari kamar. Semua kerabat menangis. Saya ambil duit dan kertas merah, menyelipkannya ke tangan mama saya. Saya menyentuh keningnya dan menciumnya dalam-dalam. Ma, sampai jumpa di kehidupan yang akan datang, terima kasih sudah melahirkan kami semua. Saya akan mengingat jasamu selalu. Saya berdoa di dalam hati.

Amitofo, Amitofo, Amitofo.

Saya sudah berjuang. Saya seharusnya sudah puas. Puas akan kondisi. Puas bahwa saya telah berbulan-bulan menemani mama saya. Puas bahwa saya telah merawatnya, tapi sebenarnya saya masih ingin merawatnya lebih lagi.

Selang sekian menit, saya harus tetap sadar. Saya menyelesaikan urusan administrasi klinik. Dokter memberitahu belasungkawa kepada saya. Saya segera mengatur barang-barang. Pekerjaan belum selesai. Saya masih harus menghadapi semuanya. Saya harus menyiapkan kremasi mama. Saya tidak boleh menyerah meskipun badan sudah lemas, mata cekung dan kondisi badan yang tidak menentu.

Masuk ke rumah duka

Sampai jam 5 pagi saya masih menemani mama, menyaksikan tubuh kakunya terbujur di atas tempat tidur. Karena masih sangat pagi, saya tidak dapat mengurus karena menunggu jam pagi, di mana karyawan akan masuk kerja. Meskipun lelah yang sangat, tetapi saya tidak bisa terpejam semenit pun, saya masih mau mengurus mama saya. Saya masih mau mengobatinya.

Di rumah duka HTT

Saya mendapatkan banyak telepon dan ucapan dukacita. Pagi itu, saya mendapatkan kabar bahwa saya disarankan agar memasukkan jenazah mama ke rumah duka HTT di Sibolga. Penelepon itu adalah sesepuh yang tahu banyak mengenai keluarga saya. Dia memaksa saya agar mengikuti sarannya, karena mengingat jasa papa kepada HTT Sibolga. Akhirnya saya juga menyetujuinya. Kami memindahkan jenazah mama untuk disemayamkan.

Sebelum keberangkatan ke Tanjung Morawa

Pagi itu, saya masih ingat dengan jelas, pukul 7.30 di pagi hari yang cerah, hidup saya sudah berubah. Mama sudah tiada dan saya harus menerima kenyataan, tidak ada lagi yang akan sibuk menelepon saya hanya untuk mencari tahu saya berada di mana. Tidak ada lagi omelan dan ocehan, tidak ada lagi yang membangunkan saya di tengah malam, tidak ada lagi yang meminta untuk disuapkan. Semangat saya hilang perlahan-lahan.

Dengan sisa kesadaran yang ada, saya memandikan mama bersama karyawan rumah sakit dan kakak. Saya masih ingat memandikannya, sambil berdoa dalam hati. Badan mama sudah terbujur kaku. Formalin mulai disuntikkan, saya tidak bisa di dalam kamar mandi. Saya keluar dan tetap di hati masih berdoa.


Kerabat mulai berdatangan, dan memberikan ucapan belasungkawa. Saya di antara hati yang sedih dan binggung ke depannya seperti apa, mengatur uang, mengurus keperluan barang-barang, menghadapi tamu, dan sampai sangat terharu sewaktu kenalan mama mendoakannya di rumah duka. Saya menangis sambil mengucapkan terima kasih dan menundukkan punggung untuk member hormat pada mereka.

Dikremasi di Tanjung Morawa

Setelah berlalu 3-4 hari disemayamkan, kami berencana untuk membawa Mama ke Tanjung Morawa untuk dikremasi. Badan ini sangat capek, tapi tak bisa tidur. Saya bawa mobil dan mengikuti iringan mobil jenazah. Kami berangkat jam 10 malam, agar tiba di Tanjung Morawa pada pagi harinya.

Mama akan dikremasi


Pukul 4 pagi, saya mengalami minor-sleep, karena kelelahan dan membawa mobil, di mana hati yang berkecamuk, dan tidak tenang, belum lagi saya menghadapi perkataan saudara sendiri. Saya menegakkan hati agar menjadi kuat, tidak emosi dalam keadaan seperti ini. Sesampainya di Tanjung Morawa, saya merasakan lelah dan bercampur sedih, sudah tiba di dekat crematorium. Saya ingat, saya buka kaca pintu mobil dan merasakan sejuknya udara pagi, yang seharusnya dihadapi dengan kebahagiaan, tetapi saya menghadapinya dengan kesedihan. 

Rombongan kami tiba, tapi karena terlalu pagi, kami mesti menunggu. Saya mempersiapkan buah-buahan, dan meletakkan kepala saya di tempat duduk, karena terlalu lelahnya. Baru saya memejamkan mata sambil merasakan apakah ini kejadian, apakah mama saya sudah meninggal, apakah saya sudah sadar? Saya terlelap. Tapi tak lama kemudian, saya dibangunkan, mata ini rasanya sangat berat, kerabat dari luar kota datang untuk menghadiri kremasi mama saya. 



Saya mengajak mereka berbicara dan menyelesaikan doa-doa sampai mama dikremasi. Lutut ini menyentuh lantai. Saya masih sedih dan tidak percaya mama sudah tiada. Karyawan krematorium mulai memilah-milah tulang-tulang yang sudah dibakar, memasukkannya ke dalam guci dan siap memindahkannya ke depan tempat perabuan, bersatu satu kotak dengan abu papa.

Sewaktu mau diangkat pindah, saya buru-buru mengambil payung, karena untuk memayungkan siapa yang akan membawa guci tersebut. Tetapi saat mau mengambil di mobil, karyawan krematorium itu, memangil-manggil nama saya agar segera hadir di guci dan membawanya ke kotak itu. Saya terkejut, dan saat mendekati guci mama, saya merasakan bahwa mama datang di tempat itu, badan saya menjadi hangat dan agak berat.

Tak terasa air mata saya turun sejadi-jadinya, tangan saya terkatup di depan dada, dan turun, saya bersujud saat itu di depan guci mama. Saya merasakan mama dan merasakan saya memeluknya kuat seperti saat menjaganya di kamar. Saya merasakan mama mengatakan, kalau jodoh kita jadi manusia di kehidupan sekarang, sudah berakhir sebagai ibu dan anak. Mama mengatakan, jagalah barang-barang yang ditinggalkannya, janganlah sedih lagi, sudah tidak bisa kita berjumpa lagi. Selesaikanlah pemakaman ini, selesaikan sampai tuntas.

Saya beranjak berdiri dan memeluk guci itu dengan erat, air ludah saya memekat dan menetes, saya menjerit sekuat-kuatnya di hati, entahlah mengapa. Mengapa mama masih mengingat saya, padahal dia mempunyai anak-anak lain sebagai kesayangannya. Saya teringat semua yang saya lakukan di kamar, semua dalam waktu secepat itu membuat lutut dan badan ini lemas.  Saya tidak kuat menahan agar tidak sedih, tapi saya sudah harus menerima kenyataan bahwa mama sudah tidak ada lagi.

Saya dipayungi sambil membawa guci mama ke ruangan lainnya. Di sepanjang perjalanan, saya hanya mengeluarkan air mata tapi tak bersuara. Saya akhirnya memasukkan guci mama ke peristirahatan terakhirnya. 

Tugas saya sudah selesai.

Epilog

Ada banyak yang mau diungkap dari keseharian dari kecil sampai saya melanjutkan ke perguruan tinggi. Tahun 2004 yang lalu, saya sepulang dari Jakarta, bertekad hati untuk bersimpuh di kaki mama untuk pertama kali dalam hidup. Saya merasa banyak telah melakukan kesalahan, dengan tidak menyukai, dengan mengalahkan pendapat mama dan tidak mau menuruti kalimat-kalimatnya. Sewaktu saya bersujud dan mengatakan kepadanya rasa terima kasih dan permintaa maaf, kami menangis berpelukan berdua. Rasanya dunia ini sudah berbeda, saya merasakan ganjalan di hati, menjadi plong. Saya merasakan lebih dekat dengan mama. Saya jadi jauh lebih menghargai mama saya, dan saya lebih merasa saya tak lebih pintar dari mama saya. Mengenang atas kebaikan dan perbuatan baiknya.

Mama saya memang tidak sekolah tinggi, tetapi dia telah menyekolahkan saya sampai perguruan tinggi. Mama saya tidak pintar memasak kue tahun baru, tetapi mama selalu menyediakan dan menyisihkan makan yang enak buat saya setiap pulang sekolah. Mama saya memang tidak memenuhi semua permintaan saya untuk membeli barang, tetapi kami anak-anaknya  memiliki tempat tinggal yang baik.

Mama saya sangat pintar menyanyikan lagu agar saya tertidur di masa kecil. Dia tidak pernah menunjukkan  bahwa dia peduli, tetapi dia sering menanya kabar saya bagaimana. Meskipun makanan darinya sederhana, tetapi selalu dia siapkan agar saya tidak lapar. Waktu saya masih remaja, dia menyiapkan susu agar saya tumbuh tinggi. Dia memberikan bagian daging buat saya, dan memakanan makanan yang sisa dari kemarin. Mama pernah mengerjai saya, tapi semua itu hanyalah agar saya menjadi pribadi yang mandiri. Mama tidak memberikan saya uang jajan yang besar di waktu sekolah, tetapi itu semua agar saya tidak menjadi boros.

Saya merasa beruntung dalam kehidupan ini memiliki ibu yang baik. Saya berjanji dalam hati akan menemui ibu-ibu yang baik di kehidupan mendatang. Terpujilah semua ibu-ibu di dunia yang telah berjuang demi anak-anaknya.


Buku Menggambar Mesin dengan Prinsip Dasar AutoCAD

Kamis, 07 Juli 2011

Kebohongan tanpa berbohong

"Saya akan memberikan bantuan kepadamu" Aduh, senangnya kalau seseorang mengatakan demikian kepada kita, apalagi kalau kita dalam keadaan kesulitan uang. Siapa yang mampu menolak rasa bahagia menyelimuti di dada sewaktu akan diselamatkan. Bahkan yang menyatakan itu adalah seseorang yang Anda percayai, seseorang yang Anda hormati sebagai teman dan seseorang yang mampu untuk menyelamatkan Anda.
Tapi sungguh menggelikan, angin surga, memang sejuk, tetapi hanya lah angin, yang datang dan berlalu begitu saja. Hahaha.

Jadi teringat sama satu bait di syair indah mengenai persahabatan,
" Dia tidak pantas dianggap sebagai seorang teman, apabila dia menjanjikan akan membantumu, tetapi pada saat dia seharusnya membantu, dia akan jujur menyatakan tidak sanggup membantumu "
...
" Ini adalah salah satu jenis teman yang patut diwaspadai, bagaikan jalan sesat, mereka akan membuat kamu menjadi bersusah hati "

Meskipun ini sudah dituliskan ribuan tahun yang lalu, tapi benar ada di kehidupan kita.
Teman saya menertawakannya, dengan mengatakan... "Sudahlah, Ken... dia kan memang begitu"
Ini sama dengan berbohong tetapi seakan-akan tidak berbohong.